BOUW SU CAY JIEN, SENG SU CAY THIAN
(Manusia punya bisa, Tuhan punya kuasa)
Sinar fajar mulai membuka tokonya
Sin-hoa-cong
turun dari lauw-teng
Sungai Kong-hoo
mengalir di Pecenongan
Suara Nyi-seng
terdengar ipai cepe cepe
Dalam dingin yang
begitu meyakinkan di musim semi
Dahan yang-liu
bergoyang ditiup angin
Pohon seng-on
melambai lambai
Ah.... kapankah
hati berjodoh menyaksikannya
Mengantar
kepergian orang yang disayang
Seribu lie terasa
sedepa
Sepasang walet
yang terbang beriringan
Berpencar .. satu
ke utara satu ke selatan
Dalam kesedihan
yang begitu mendalam
Hidup bagaikan
yatim piatu
Cawan rindu
kuteguk sendu
Pahit dan getir
telah berpadu
Dalam penantian
yang entah kapan kan berakhir
Laksaan hati
terlewati
Walau gunung
Tiang-san tetap menghijau
Tetapi bambu kian
menua
Bunga yang
sekarang bukan bunga yang dulu
Eng loo jiak
Eng loo jiak adalah putra dari pendekar Li am si
di zaman dinasti O-beng (setelah Dinasti Tang sebelum Dinasti Mi-ing). Li am si
sendiri adalah salah satu murid Bu pun su So hi bi. Eng loo jiak mendapati ilmu
dari ayahnya sendiri yang kemudian belajar langsung dari suhengnya Kiam thaysu
di gunung Tiang-san dari aliran Beng kauw di Langgar Tinggi, Pe Ce Nong An
Setelah menginjak-injak Bing thay-kam dari perguruan Mo yung lan siki, Eng loo jiak
mencuci kaki di baskom emas dan meninggalkan dunia kang-ouw menghilang tidak
diketahui rimbanya.
Sajak di atas dibuat pada saat beliau sedang
tafakur merenungi Tuhan-nya.Perpisahan yang dimaksud bukanlah perpisahan antara
dua orang kekasih yang bermesraan, tetapi antara diri jasmani dan rohani,
dimana kecintaan dunia yang merupakan kecintaan rohani akan dilepaskan begitu
saja karena kerinduannya untuk bertemu dengan sang Kholik.
0 komentar:
Posting Komentar